Hujan dan Jiwa Pemberani
"Jika kamu ingin melihat jiwa pemberani, lihatlah mereka yang bisa memaafkan. Jika kamu ingin melihat jiwa kepahlawanan, lihatlah mereka yang bisa membalas kebencian dengan kasih sayang" ---Mahatma Gandhi--
Tik.... Tik... Tik...
Tetes demi tetes rintikan air turun membasahi bumi, menyiram rerumputan yang kering karena musim kemarau panjang. Butiran air ajaib itu menciptakan uap tipis pada jalanan. Bau khas hujan tercium begitu menyengat, membuat orang-orang yang menanti kehadirannya tersenyum bahagia. Menunggu hujan reda sembari menyimak iringan musik alam yang dihasilkan dari rintikan air hujan.
Seorang gadis mengusap rambut hitam pekatnya karena basah kemudian sedikit menyingkir dari percikan air hujan. Menyibakkan rok abu-abu lalu mencincingnya. Takut terkena noda. Menunggu dan hujan adalah hal yang paling menyebalkan baginya. Berbeda dengan beberapa temannya yang justru menatap hujan dengan mata berbinar sembari memainkan percikan. Napasnya kembang kempis karena harus berlari dari lobi menuju pos satpam dengan menerabas hujan yang semakin deras.
Sebuah notifikasi Line berbunyi. Merasa ponselnya berbunyi, ia segera mengambil posisi duduk. Untungnya di pos satpam hanya ada tiga orang sehingga masih ada kursi kosong untuk dirinya. Diambilnya ponsel cantik berwarna merah dari saku baju lalu mengusapkan tangannya pada rok karena basah.
Ibnu Haris
Alysa menyipitkan mata. Penasaran dengan pengirim pesan. Seingatnya, ia tidak pernah mengenal lelaki bernama Ibnu Haris. Dibukanya profil akun itu, sayang tidak ada satu pun tanda pemilik akun. Ada tiga postingan dan semuanya hanya pengubahan foto profil bertuliskan tip hidup sehat.
Alysa
Siapa?
Tidak ada balasan. Alysa pun memutuskan menelepon sang nama agar segera menjemput. Hingga panggilan kelima, masih belum juga diangkat. Ia mulai putus asa dan memasukkan kembali ponsel ke saku. Ia memandang hujan yang tak kunjung reda. Padahal ia sudah duduk di pos satpam selama lima belas menit.
Notifikasi Line berbunyi lagi.
Ibnu Haris
dmn?
Alysa
maaf, maksudnya dmn apa ya? Gue gak ngerti bahasa anak alay
Ibnu haris
di mana
Alysa
oh di mana... gitu dong jelas... gue gak ngerti kalau bahasa kayak gituan.
Ibnu haris
dmn km?
Alysa
masih di sekolah. Kenapa ? Dan lo siapa sih? Kayaknya gue gak kenal tuh yang namanya Ibnu Haris
Di sisi kolom percakapan terakhir pemilik akun Line Ibnu Haris bertuliskan 'Baca'. Sumpah ya! Cuma dibaca? Ini siapa sih? gerutu gadis itu. Mau mengirim pesan lagi, gengsi, jaim dong. Masak gara-gara di-read saja protes?
Nanti dikira mengharapkan pesan darinya. Alysa memutuskan membuka BBM dari sang mama.
Mama
Maaf Sayang, mama lagi di rumah Fida Hamidah. Jadi gak bisa jemput.
Dengan lincah, Alysa membalas pesan dari Mila hanya dalam waktu tiga puluh detik.
Alysa
Hih!!
Mama.. Alysa udah nungguin dari tadi. ini kaki udah lumutan, rok abu-abu aja jadi hijau. Udah 12 tahun Ma, Alysa nungguin mama di pos satpam.
Tapi mama malah ngak jemput?
Tahu gitu tadi Alysa bawa sepeda motor aja ke sekolahnya. Tahu gitu Alysa naik angkot aja. Tahu gitu bareng Aisya aja. Tahu gitu naik bus antar jemput aja. Tahu gitu... Ah Mama... masak gak jemput sih.
Terus Alysa pulangnya gimana?
Please jemput Alysa. Kalau gak jemput Alysa nangis darah lo!
Mama... jemput yaaaa... Mama kan cantik, baik, suka menolong, rajin menabung, takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, cinta alam dan kasih sayang sesama manusia, patriot yang sopan dan kesatria, patuh dan suka bermusyawarah, rela menolong dan tabah, rajin trampil dan gembira, hemat cermat dan bersahaja, disiplin berani dan setia, bertanggung jawab dan dapat dipercaya, suci dalam pikiran perkataan dan perbuatan. Pokoknya semua deh...
Tidak ada balasan dari Mila. Ia mendengus kesal. Rasanya ingin marah-marah. Andai membunuh itu diperbolehkan, ia ingin membunuh orang yang ada di pos satpam. Jangan heran, Alysa memang menakutkan kalau kesal, sudah kayak singa ngamuk.
Tin... tin...! Sebuah mobil BMW putih berhenti di depan pos satpam. Tin... tin....! Klaksonnya lagi karena yang dipanggil masih enggak peka. Tin... tiiiiiiiinnnnnnnnn!
Merasa terganggu, Alysa menatap ke arah suara. Lelaki di balik kemudi sepertinya tidak asing. Tapi, siapa? Hujan membuatnya tak begitu jelas melihat.
Notifikasi Line berbunyi
Ibnu Haris
Bruan msk! kalo gk sya tinggal.
Alysa memfokuskan pandangan. Tidak salah lagi. Lelaki itu adalah dokter berlagu bernama Muhammad Haris Ibnu Sina. "Oh, jadi pemilik akun Line ini dia," usut gadis itu.
Ibnu Haris
Bruan Tnte nyuruh sya jmpt km
Alysa memutar bola mata jengah kemudian berlari menuju mobil terparkir. Katika ia membuka pintu depan, pintu masih terkunci. Pemilik mobil mengisyaratkannya agar membuka pintu belakang.
"Gila kali, ya! Tahu ujannya deras masih dilama-lamain buka pintunya. Kan gue jadi basah kuyup, lo mau gue sakit? Heran deh sama lo... Gue salah apa sih sampe lo benci banget sama gue?" omelnya sambil melompat ingin duduk di kursi depan.
"Jangan duduk di depan," larang Haris sudah seperti kutukan keramat.
Lagu, gadis itu harus menahan amarahnya. Detik berikutnya, mobil sudah berjalan meninggalkan area sekolah. Alysa memandang ke luar jendela. Tiba-tiba sebuah petir menyambar pohon tinggi tepi jalan, membuat gadis yang duduk di kursi belakang itu meringking ketakutan.
Haris melirik Alysa dari kaca spion tengah.
"Kenapa?"
Tidak ada jawaban
"Petirnya nggak bakal nyambar kamu." Itu kalimat menangkan, tapi terdengar dingin di telinga Alysa. Bukan membuat tenang, justru sebaliknya.
Masih tidak ada jawaban. Yang terdengar justru suara tangisan disertai senggukan. Haris tersenyum tipis, tipis sekali. Ternyata gadis bawel itu takut petir. Ia menepikan mobil. Alysa mulai bangkit dari posisi awal. "Gu-gue.... hiks... hiks... bo-leh... du-duduk... hiks... hiks... depan, ya? Hiks... hiks..."
Haris mengangguk. Memberikan jas dokternya kepada gadis yang sudah duduk di sampingnya. "Thanks..., hiks... hiks..." Alysa diam ketakutan dengan berselimut jas kebanggaan Haris itu.
"Lo percaya nggak, Lys? Kamu hanya cinta yang dapat mengubah dunia?"