“Udah nggak apa-apa, si Tay itu emang bego.” Dengan baik hatinya New mengusap-ngusap bahu Jane yang sedang menangis di tengah taman. Kalau Tay dengan segala kebrengsengkan-nya secara terang-terangan mematahkan hati para gadis, New-lah yang mengobatinya. Tidak terhitung sudah berapa banyak gadis yang New hibur setelah dibuat nangis oleh Tay. New Thitipoom dijuluki malaikat, ia selalu menjadi penyelamat dari korban-korban Tay. Sayangnya New sebenarnya adalah malaikat pencabut nyawa.
Dia bukan mengobati, tapi malah membuatnya semakin terinfeksi. Mereka hanya beda tipis, kalau Tay itu fuckboy3, New adalah softboy4. “Nama kamu siapa?” tanya New.
“J-Jane Kak New,” ucapnya malu-malu. “Kamu kok tau namaku?” New terkekeh pelan membuat jantung Jane berdegub tak karuan. Sakit hatinya karena perlakuan Tay mulai menguap. “Tau dong, siapa yang enggak tau Kakak sih?”
Pangeran jurusan teknik yang satunya lagi adalah New Thitipoom alias musuh Tawan Vihokratana. New tidak kalah dengan Tay. New juga pintar, hal itu membuat New mendapatkan beasiswa.
Kalau Tay adalah sultan sawit, New adalah raja minyak. Iya, keluarga New adalah pengusaha kilang minyak. New tinggal di apartemen dekat kampus. New hobi; pergi ke bar, live music, kalau di Jakarta dia suka main golf. Wajah New manis, mulutnya halus, kelakuannya juga bak pangeran Disney. Berbeda 170 derajat dengan Tay yang kejam, dingin, menyebalkan dan seenaknya. Lho, kok cuma 170? Bukan 180? 10-nya ke mana? Nah, 10 derajatnya ada di sini. “Kamu lucu deh,” New mencubit pipi Jane. Hal itu membuat Jane terkikik malu-malu, “Makasih ya Kak udah nolongin aku.”
“Apa pun buat Princess Jane.” Tuh kan mulutnya manis sekali, “duluan ya, aku ada kelas.” New pamit. Ia menepuk kepala Jane sekilas sebelum pergi. “Malaikatku,” bisik Jane dengan tatapan berbinar-binar. Malangnya Jane, dia tidak tahu saja setelah New memasuki gedung ada sekitar tiga cewek lain yang mendapatkan perlakukan serupa. New Thitipoom tidak kalah brengsek dari Tawan Vihokratana.
Dua cowok ganteng itu memegang gagang pintu kelas secara bersamaan membuat satu di antaranya yang pertama kali menyadari hal itu mendelik tak suka. “Awas lo!” Tay mendorong cowok di sebelahnya. New melotot tak terima, ia balas mendorong Tay, “Lo yang awas! Gue duluan yang sampe di sini!”
“Lo lagi, lo lagi!” erang Tay melihat New. Entah kebetulan atau apa, Tay dan New itu hampir selalu sekelas. Padahal mereka tidak KRS5-an bareng.
“Bacot lo!” New menendang kaki Tay. Ia membuka pintu kelas, tapi baru satu langkah tas ranselnya ditarik, “Sialan!” pekik New, Tay menarik tas New sampai hampir terlepas. New murka, dia hendak menonjok Tay tetapi seorang dosen tiba-tiba berdiri di hadapan mereka, “Udah telat masih mau bikin masalah?”
“Selamat siang,” New tersenyum kepada Bapak Hendar.
“Nggak usah senyam-senyum ke saya! Kamu pikir saya bisa terpengaruh sama senyuman sok manis kamu itu?!”
New tetap mempertahankan senyumannya, ia meminta maaf dengan sopan lalu berjalan menuju kursinya. Pak Hendar berdecih, ia beralih kepada biang onar yang satunya. “Kamu, ngapain masih berdiri di sini?! Sopan santun nggak ada, kamu pikir kamu siapa?!”
“Saya? Tawan Vihokratana, Pak.”
“Itu saya juga tau! Sana duduk! Nggak usah sok ganteng!” “Saya emang ganteng, Pak. Buktinya satu kampus naksir saya tuh,” Tay menggerutu, berjalan ke bangkunya.
“Apa kamu bilang?!”
“Bangsat!” Tay mengumpat begitu melihat bangkunya terletak di sebelah New Thitipoom.
“APA?!” Pak Hendar menjewer telinga Tay.
“Aduh Pak! Ampun!” jerit Tay kesakitan membuat New tertawa keras melihatnya.
“Keluar dari kelas saya sekarang juga!”
Bangsat kedua, Tay diusir dari kelas yang jatah absennya sudah habis. Bangsat ketiga, New Thitipoom itu selalu membuat Tay terkena sial, “ARGH! I HATE YOU NEW THITIPOOM!”