Cinta di Bangku SMA

Hari itu hujan turun deras sejak pagi. Aku melangkah cepat ke gerbang sekolah, berusaha menghindari genangan yang tersebar di halaman depan. Jam pelajaran pertama hampir dimulai, dan aku tidak ingin telat, apalagi hari ini ada ulangan Matematika. Tapi yang lebih membuatku gugup bukanlah ulangan itu melainkan dia, Raka.

Aku, Kirana, seorang siswi kelas XI IPA 2 di SMA Tunas Bangsa. Aku bukan siapa-siapa di sekolah ini. Nilai lumayan, tidak populer, hanya punya beberapa teman dekat. Tapi Raka... dia berbeda. Ketua OSIS, pemain basket, pintar, dan—aku akui—tampan. Banyak cewek yang suka padanya. Dan aku, cuma satu dari mereka.

Awal mula aku mengenalnya bukan karena organisasi atau ekskul, melainkan karena aku duduk di sebelahnya di kelas Matematika tambahan. Guru kami, Bu Yani, membagi tempat duduk secara acak, dan aku mendapat bangku di sebelah Raka.

“Nama kamu Kirana, kan?” katanya waktu pertama duduk di sebelahku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum kikuk.

“Panggil aja Raka. Jangan terlalu tegang. Aku juga siswa biasa, kok,” katanya, sambil tersenyum ramah.

Mulai hari itu, kami sering ngobrol. Tentang pelajaran, film, bahkan soal makanan favorit. Aku baru tahu ternyata Raka suka mie goreng sama seperti aku. Kadang dia bercanda dan membuatku tertawa di tengah penatnya pelajaran tambahan.

Semakin sering kami duduk bersebelahan, aku jadi semakin menyukainya. Tapi aku tahu diri. Raka itu idola sekolah. Sedangkan aku? Hanya Kirana yang biasa-biasa saja. Tapi tetap saja, perasaan itu tumbuh, diam-diam, seperti benih yang terus disiram hujan.

Suatu hari, aku sedang menulis catatan pelajaran saat dia memanggil namaku pelan.

“Kirana… kamu pernah naksir seseorang, nggak?”

Aku kaget. Hampir salah tulis.

“Pernah,” jawabku lirih.

“Terus, kamu pernah bilang ke orang itu?”

Aku geleng pelan.

Dia mengangguk, menatap jendela.

“Kalau aku… lagi naksir seseorang juga. Tapi bingung mau ngomong gimana.”

Hatiku tercekat. Jangan-jangan…

“Siapa?” tanyaku pelan, berharap tapi takut.

“Rahasia,” katanya sambil tersenyum iseng.

Sejak hari itu, aku mulai sering memikirkan perkataannya. Siapa yang dia suka? Apakah salah satu dari cewek-cewek populer itu? Atau mungkin… aku?

Kebersamaan kami semakin sering. Kami mulai bertukar pesan lewat aplikasi chat. Raka sering mengirim meme lucu, atau tanya PR, atau cuma bilang “semangat ya!” setiap pagi. Meski hanya pesan sederhana, rasanya seperti hadiah yang membuat hari-hariku lebih cerah.

Waktu terus berjalan. Ujian akhir semester semakin dekat. Suasana kelas mulai serius, tapi hubunganku dengan Raka justru semakin santai. Sampai suatu sore, setelah belajar kelompok di rumah temanku, Raka menawarkan untuk mengantar pulang.

“Kamu yakin? Rumahku agak jauh dari sini,” kataku ragu.

“Gak apa-apa. Aku juga mau jalan-jalan sebentar,” jawabnya ringan.

Kami naik motor, angin sore menerpa wajahku. Jantungku berdegup cepat, bukan karena angin, tapi karena dia.

Di depan rumahku, dia tidak langsung pergi. Dia diam sebentar, lalu menatapku.

“Kirana…”

“Hmm?”

“Kamu pernah bilang suka seseorang, kan? Sekarang… kamu masih suka orang itu?”

Aku mengangguk pelan.

“Kalau orang itu aku, gimana?”

Deg.

Aku menatapnya, tak percaya.

“Kamu… yang waktu itu kamu bilang suka, itu aku?”

Dia tersenyum.

“Iya. Aku nggak langsung bilang, soalnya aku nggak yakin kamu juga suka.”

Aku terdiam. Dunia seperti berhenti sejenak. Hujan gerimis turun, tapi tak ada yang lebih deras dari degup jantungku.

“Aku suka kamu juga, Ra.”

Dia tersenyum lebar. Dan itulah awal kami.

Hari-hari setelah itu berjalan indah. Kami tidak langsung pacaran secara resmi. Tapi semua teman dekat tahu, ada sesuatu antara aku dan Raka. Kami belajar bareng, makan siang bareng, bahkan kadang pulang bareng. Aku merasa menjadi gadis paling beruntung di sekolah.

Tapi, seperti banyak kisah cinta di masa SMA, kebahagiaan itu tak selalu abadi.

Semester dua, Raka mulai sibuk dengan OSIS dan persiapan turnamen basket. Kami jadi jarang bertemu. Pesannya mulai jarang masuk. Aku mulai merasa asing.

“Aku gak tahu, Ra. Kamu makin jauh. Kamu kayak orang lain,” kataku suatu hari lewat chat.

“Maaf, Kir. Aku lagi pusing banget. Aku gak bermaksud menjauh.”

Aku mencoba mengerti. Tapi aku juga manusia. Rindu. Marah. Bingung.

Puncaknya saat aku melihat Raka sedang bersama Sheila, siswi kelas XI IPS. Mereka tertawa bersama di kantin, terlalu dekat untuk sekadar teman.

Aku tidak langsung menegurnya. Tapi malamnya, aku kirim pesan panjang, curhat semua isi hatiku.

Dia hanya balas singkat: “Maaf kalau aku bikin kamu sakit hati. Tapi aku juga bingung sama perasaanku.”

Kami akhirnya memutuskan untuk memberi jarak. Tidak bertengkar. Tidak marahan. Tapi seperti dua orang yang pernah dekat, kini hanya saling mengenang.

Waktu berlalu. Ujian kelulusan datang, lalu pengumuman kelulusan. Kami lulus. Raka diterima di universitas negeri di luar kota. Aku kuliah di kampus swasta di kota sendiri.

Kami tidak lagi saling berkabar. Hanya sesekali menyukai postingan satu sama lain di media sosial. Tapi aku tahu, bagian dari hatiku akan selalu mengenang kisah kami—kisah cinta di bangku SMA.

Kisah yang manis, walau tak berakhir bersama.

Kisah yang sederhana, tapi membekas selamanya.

Karena cinta pertama, meski tidak selalu jadi yang terakhir, akan selalu punya tempat istimewa di hati.

Penutup

Kini, setiap kali hujan turun seperti hari itu, aku selalu teringat senyumnya di bawah payung kecil itu. Raka, cinta pertama yang mengajariku arti hangatnya perhatian, senangnya jatuh cinta, dan perihnya melepaskan.

Dan aku bersyukur pernah mengenalnya.

Meski hanya sejenak, di bangku SMA.