Novel "Yang hilang akan kalah dengan yang selalu ada"

"Yang hilang akan kalah dengan yang selalu ada. Yang selalu ada akan kalah dengan yang berada. Yang berada akan kalah ketika menghilang".

Terik sinar matahari tak mematahkan semangat para siswa SMA Tunas Patria yang tengah beradu merebutkan  bola kecil berwarna cokelat. Pertandingan suda berjalan sejak sepuluh menit lalu, tapi belum ada satu tim pun yang berhasil memasukkan bola ke gawang lawan. Tampak seorang gadis berambut ikal yang mengikat rambutnya tinggi-tinggi. Ia berteduh di bawah pohon mangga sembari menonton pertandingan futsal kelasnya melawan kelas X IPS 4.

"Alysa!" panggil seorang gadis berhijab dari kejauhan. Tangannya melambai sambil berdiri, menggenggam dua botol air mineral.

Merasa di panggil, Alysa pun menoleh. Tersenyum kepada sang sahabat - gadis cantik berperawakan tinggi nan berkulit putih yang bernama Aisya. Ia bersahabat dengan gadis berhijab itu sejak masuk SMA.

"Nih, buat lho." Aisya menyodorkan botol yang langsung diambil oleh Alysa.

"Lo emang perhatian, thanks ya, Aisya Sayang. Gue doain lo bisa segera ketemu sama oppa lo." Alysa terkekeh.

Bukannya jengkel pada perkataan Alysa yang jelas-jelas terdengar mengejek, Aisya malah tersenyum semringih. Ia adalah salah satu golongan remaja pecinta Korea. Kalau tidak salah, namanya K-pop? Katanya sendiri saat awal berkenalan di kelas X - Aisya adalah sepupu Suzy, adiknya Park Shin-hye, kakaknya Kim Soo-hyun, mantannya Lee Min-ho, pacarnya Lee Jong-suk, mantan calon istri SOng Joong-ki. Akunya, gagal menikah gara-gara Joong-Ki direbut Song Hye-kyo. Öh, Alysa, Joong-ki Oppa udah soul out," keluhnya kemaren sore, Oke, cukup! Kalau diteruskan, bisa enggak kelar sampai tahun depan.

Karena Aisya K-popers, yang enggak pernah ketinggalan sama drama-drama Korea, Alysa pun secara tidak langsung menjadi drakor lover alias pecinta drama Korea. Ia akan menanti drama-drama dari negara gingseng tersebut. Menonton drama dengan episode panjang saat libur sekolah adalah rutinitasnya.

"Sekarang jam berapa sih?"

Alysa menatap arloji. "Sebelas lebih lima."

"Ke kelas, Yuk... Sebentar lagi pulang."

"Emang pulangnya jam berapa?"

"Kalau classmeet gini biasanya pulang jam sebelas lebih seperempat." Keduanya berjalan menuju kelas. "Sa, nanti temanin gue ke toko buku ya. Gue pengen beli bukunya Wirda."

Alysa menatap Aisya sambil menyengir. "Sorry, Sya, gue udah ada janjian sama Kak Haris. Mau dijak ke rumah sakit."

"Ia deh.  Kalau udah sama calon suami, gue nggak mau ikut campur."

Alysa memukul lengan kanan Aisya. "Serah lo bilang deh." Sampai di depan pintu kelas, ia menghentikan langkah.

"Kenapa?" Aisya menatap heran Alysa yang memelototkan mata menatap ke layar ponsel.

"Gawat... Sya! Kak Haris udah nungguin. Kira-kira bel berapa lama lagi, Ya" tanya Alysa enggak selow.

"Sepuluh menit lagi mungkin."

***

Mata Alysa berbinar ketika bel pulah sekolah berbunyi. Ia buru-buru berlari ke depan gerbang. Matanya makin berbinar ketika melihat seseorang di balik kemudi mobil. Ia membuka pintu mobil depan, terkunci. Gadis berusia 18 tahun itu mendengus karena Haris tidak pernah mengizinkan Alysa duduk di sampingnya. Ia harus duduk di kursi belakang. Boleh duduk di samping kalau sudah menikah. "Belum mahram," katanya.

"Siang, saya---" Panggilan Alysa tak genap saat menyadari satu hal lagi. Ia tak boleh memanggil Haris sayang, cinta dan sejenisnya. "Kak Haris," ucapnya gugup.

Seperti biasa, Haris menatap Alysa dari kaca spion tengah dengan ekspresi datar. "Assalamu'alaikum...."

"Wa'alaikumusalam...," jawabnya sembari menyengir.

Lupa salam.

Mobil melaju meninggalkan lingkungan sekolah, melewati Jalan Ahmad Yani kemudian masuk ke gang kecil.

"Kita mau ke mana, Kak?"

Haris masih diam.

"Tumben Kakak nggak di rumah sakit. Gak ada pasien, Kak?"

Lelaki itu masih fokus mengemudi. "Lagi nyetir, Sa." Bukannya menjawab, Haris justru memperingatkan gadis itu untuk tidak mengajukan pertanyaan.

Alysa melipat kedua tangannya. "Oke, oke." Dasar cowok nggak bisa romantis, nggak ngerti perasaan cewek, kaku banget, pelit ngomong. Sumpah serapah Alysa dalam hati saking kesalnya. Kok bisa sih gue nerima lamaran cowok kayak gini?!

Alysa ingat betul kejadian dua bulan lalu ketika Haris tiba-tiba datang ke rumahnya seorang diri. Menemui papa Alysa, mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu melamar Alysa. Awalnya, gadis itu tidak mengerti kenapa lelaki itu langsung melamar tanpa menjadikannya sebagai kekasih terlebih dahulu. Namun, atas pengertian sang mama bahwa begitulah alur cinta yang benar menurut Islam, ia pun mengerti dan menerima lamaran Haris.

Dua belas menit kemudian, mobil Haris memasuki parkiran mal besar di Semarang.

"Ke mal ngapain, Kak? Mau nonton film terbaru, ya? Nonton horor aja yuk, Kak!" Mata Alysa berbinar. Ia memang tipe remaja yang suka ke mal. "Tahu gini tadi Alysa bawa baju ganti. Kalau pakai seragam sekolah kan jadi kelihatan kayak murid bandel."

Haris memberikan kardigan kepada Alysa. Tanpa mengatakan satu kata pun.

"Oke... Makasih, Kak."

Haris mengangguk, masih dengan wajah datar miliknya. Lelaki bertubuh atletis layaknya pemain sepak bola Eropa itu melepas jas dokter lalu keluar dari mobil. Berharap dibukakan pintu oleh Haris seperti pasangan kekasih pada umumnya-Alysa masih duduk di dalam mobil. Sayang, lelaki itu justru berjalan menuju pintu masuk mal. Gadis itu berdecak kesal. Ia harus membuka pintu mobil sendiri dan berlari mengejar Haris.

Langkah keduanya berhenti di depan sebuah toko pakaian muslim. Alysa menatap Haris curiga. 

"Kakak ngajak aku masuk ke dalam?""

"Hmm...," dehamnya mengiakan.

Minggu lalu Haris memang meminta Alysa untuk mengenakan hijab. Namun, ditolak oleh gadis kelas 12 jurusan MIPA itu. Ia berkilah bahwa akhlaknya tidak bisa setara dengan pakaiannya. Pasti ia akan dikata-kata teman di sekolah.

"Alysa nggak mau!" tolaknya tegas lalu meninggalkan Haris.

"Alysa!" seru Haris yang entah kenapa terdengar bak bentakan di telinga.

Langkah Alysa berhenti. Hatinya terasa sakit mendapat bentakan dari Haris. "Kalau Alysa bilang nggak mau, yang nggak mau. Jangan paksa Alysa!"

"Hijab sama akhlak itu nggak ada hubungannya, Alysa. Jangan kayak anak kecil begitu! Itu kalimat terpanjang Haris hari ini yang digunakan untuk membentaknya.

Alysa menggigit bibir bawahnya." Dari tadi Kakak diam aja, dan sekarang ngomong cuma buat ngebentak Alysa? Kakak kalau nggak bisa nerima Alysa apa adanya, nggak usah ngelamar Alysa. Kalau Alysa nggak mau berhijab, ya nggak mau! Kakak jangan egois! Alysa benci sama Kak Haris!" Ia pun beranjak pergi.

Dasar cowok nggak peka! lihat cewek ngambek dikejar kek. Minta maaf apa gimana gitu. Lah ini? Malah diem aja! Hih! batinnya sambil berjalan menuju pintu keluar mal.

Ia pun  menaiki taksi. Ia harus cepat-cepat angkat kaki dari areal mal agar lelaki itu tidak dapat mengejarnya. Mengejar? Omong Kosong! Posisi terakhir yang ia lihat saja, lelaki itu masih diam di tempat.

Lelaki itu memang sangat menyebalkan, bahkan sejak pertemuan pertama. Mata Alysa memandang jalanan dari jendela, tetapi ingatannya kembali pada kejadian beberapa bulan lalu.

Kisah beberapa bulan lalu

"Mama..." rengek seorang gadis memohon supaya tidak diajak pergi ke dokter.

Mamanya duduk di sisi ranjang. "Orang demam begini! Nanti kalau makin parah gimana? bisa-bisa Mama diomelin papa sampai tahun depan. Kamu tahu sendiri papamu itu orangnya progresif banget kalau menyangkut anak semata wayangnya ini." Tangan sang mama mencubit pelan hidung Alysa.

Gadis itu mengaduh lantas menempelkan punggung tangan mamanya pada dahi. "Udah enggak panas kok, Ma. Udah mendingan kok. Nanti malam juga sembuh. Benaran, Alysa nggak bohong. Suwer."Ia menunjukkan jari membentuk huruf "V". "Lagian Papa di Amerika. Gak akan tahu kalau Alysa sakit, asal Mama nggak bilang ke Papa sih. Ma, jangan periksa Alysa, ya?"

Sang mama memutar mata jengah. "Alysa, nurut deh sama Mama."

"Yaelah, Mama, kayak ngga tahu aja kalau Alysa----"

"Takut suntik? Mama tahu kok, Alysa Sayang. Mama bakal bilang sama dokternya kalau anak Mama yang cantik ini jangan sampai di suntik. Mama cuma takut ada apa-apa sama kamu kalau sampai enggak dibawa ke dokter."

Alysa mulai menyerah. Tenaganya memang tak sekuat seperti biasa. "Ya udah deh, tapi janji, Alysa nggak bakal disuntik ya, Ma."

Mama mengangkat bahu kemudian mendorong anak semata wayangnya menuju mobil.

Lima belas menit kemudian, Alysa sudah duduk di kursi ruang tunggu. Entah beruntung entah malah sebaliknya, Alysa mendapat nomor antrean 2.

"Ma...," rengek gadis belasan tahun itu.

"Udah, nggak usah takut."

Alysa menatap ngeri ke sekeliling ruangan. Rumah sakit, klinik, puskesmas, dan sejenisnya adalah tempat paling dibenci oleh gadis berkulit kuning langsat itu.

Pasien yang datang pagi ini cukup banyak. Terbukti dengan tak adanya kursi ruang tunggu yang kosong. Gadis bermata sipit itu menatap papan nama yang menggantung di atas pintu Dr. Muhammad Haris Ibnu Sina. Membaca nama itu membuatnya teringat tokoh Islam pada masa Bani Abbasiyah, salah satu tokoh filsafat dan pengarang buku kedokteran yang menjadi pedoman para dokter hingga sekarang.

"Pasien nomer 2. Alysa Salwa Syafitri," panggil seorang perawat berpawakan langsing.

Alysa menggenggam erat tangan sang mama, memohon untuk ditemani. 

"Iya, Mbak," jawabnya sambil menarik tangan sang anak agar segera masuk.

"Siang, Dok," sapa sang mama. "Loh, kamu bukannya anda Fida Hamidah?" Salah satu sifat Mila-nama Alysa yang tidak disukai Alysa adalah sifat sok tahu dan sok kenalnya. Contohnya, ya begini. Dasar ibu-ibu, suka heboh kalau ketemu anak temanya. 

"Iya, tante. Silah duduk, Tante."

Entah kenapa, sapaan dokter itu terasa menyebalkan bagi telinga Alysa.

"Terima kasih."

"Ada keluhan apa, Mbak?"

Mata Alysa membulat seketika, kaget dengan panggilan yang diberikan dokter kepada dirinya. "Ha? Mbak? Emang muka gue ini kayak mbak-mbak, ya?" Ia tak terima. "Lagian, sejak kapan gue nikah sama kakak lo?"gerutunya lirih, tetapi masih terdengar oleh telinga sang mama dan dokter.

Mama mencubit paha Alysa.

"Aw! Aduh, sakit, Ma!"

Sang dokter tersenyum samar.

Setelah berapa menit berkeluh kesah, Alysa dipersilakan menuju ruang pasien diperiksa. Awalnya, ia meminta sang mama untuk menemani, tapi tidak diperbolehkan oleh dokter. Larangan itu menambah rasa tidak suka Alysa kepadanya.

"Dok, jangan disuntik loh!"

"Dok, awas kalau disuntik."

"Jangan macem-macem."

"Mati lo, Dok, kalau sampai nyuntik gue!"

Kalimat-kalimat itu digunakan Alysa untuk mengancam dokter, tapi yang diancam datar-datar saja.

"Aaaaaaaaaaaa!!! Teriakan Alysa menggema ke seluruh ruang dokter, bahkan sampai ruang tunggu meskipun terdengar samar.

Mila panik dibuatnya.

"Dok, hih! Gue kan udah bilang jangan disuntik. Kalau gue mati, lo bakal dituntut penjara seumur hidup. Kalau perlu, di hukum gantung sekalian!". Sumpah serapah Alysa sembari mengelus-elus bagian tubuh yang habis ditusuk jarum suntik.

Dokter berparas tampan itu tak menggubris. Saking kesalnya, Alysa menarik lengan kanan dokter. "Eh! Gue ngomong sama lo, Dok!"

"Nama saya bukan Dok," jawabnya tanpa merasa bersalah.

Alysa semakin kesal. "Serah deh nama lo siapa. Yang penting gue bakal nuntut lo." Jari telunjuk gadis itu tak berhenti menuding-nuding lelaki bernama depan Muhammad itu.

"Haris." Lelaki itu menyebut namanya. Ada yang aneh, biasanya Haris tidak pernah mengenalkan namanya kepada orang lain. What happen with him?

Di balik Alysa, Haris tersenyum samar. Ia merogoh dompet kemudian menyerahkan Kartu Tanda Penduduk kepada Alysa, mengisyaratkan jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan pada gadis itu, ia akan bertanggung jawab. Alysa mengambil KTP Haris dengan kasar, memasukannya pada kantong celana. Ia pun pergi meninggalkan Haris.

Haris pernah bercerita bahwa dua hari setelah kejadian itu, ia kelimpungan mencari alamat gadis pencuri KTP-nya, lebih tepatnya pembawa. Besoknya adalah hari terakhir mengumpulksan syarat-syarat mengajukan kuliah di New York, tapi KTP haris masih di tangan gadis itu.

Ia mencari nama Alysa ke ruang administrasi kliniknya. Setelah praktik, ia memutuskan mencari alamat Alysa. Kurang lebih 30 menit ia mencari rumah Alysa. Ia menekan bel rumah bercat hijau tosca dengan kolam ikan di taman. Sayang, gadis yang ia cari sedang tidak di rumah. Terpaksa, ia harus pergi ke sekolah Alysa karena waktunya tidak banyak lagi.

Para siswi tak henti-henti menatap Haris. Sesekali mencoba menarik perhatian lelaki itu. Bukan Haris namanya kalau menanggapi para wanita yang menggodanya. Ia cuek, sama sekali tak peduli.

"Haris? Ngapain ke sini!" tanyanya enggak bisa biasa. Langsung nada tinggi.

"Mau ambil KTP."

"Enak aja! Ini pantat gue masih sakit." Alysa menatap Haris dari ujung kepala hingga kaki. Menurutnya, lelaki itu tampan juga, keren. Eit! Apaan sih, Alysa?!

"Saya butuh banget."

Alysa memutar bola mata malas. "Oke. Karena gue males debat sama lo dan karena gue baik hati, gue bakal kasih KTP lo, tapi ---"

"Ini nomor telepon saya," potong Haris, menyodorkan kartu nama. Malas berdebat.

"Oke..., awas saja kalau ini nomer palsu." Tak percaya, Alysa pun mencoba menelepon nomor yang diberikan Haris.

Ponsel Haris berbunyi.

"Oke..., bisa dipercaya."

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Haris pun berlalu.

"Heh!!! Dasar nggak tahu terima kasih! Woy!!" panggil Alysa galak.

Haris terus berjalan dengan cool, tanpa menggubris Alysa yang sudah mengomel kayak mak-mak diselingkuhi suami. Sementara itu, para siswi Tunas Patria tak berkedip menatap Haris.

"Udah, nggak usah galak-galak. Lagian, dia ganteng loh, Sa." Aisya angkat bicara setelah beberapa waktu hanya menyimak kedua insan itu.

Alysa bergaya ingin muntah. "Amit-amit deh."

"Gue sumpahin lo kesandung!" Sumpah serapah Alysa yang dibalas dengan tatapan sinis para siswi pengagum Haris.

"Kenapa kalian? Makan tuh cowok. Gue nggak doyan."

Benar kata pepatah senjata makan tuan. Tak tahu sejak kapan Alysa sudah terjungkir di lantai kesandung tangga kecil. Orang-orang menertawakannya, termasuk Aisya yang sudah menahan mati-matian agar tawanya tak meledak. Kalau meledak, bisa-bisa ia dikapar.

****

"Mbak, sudah sampai," beri tahu sopir taksi.

Alysa terkesiap. Ia segera menyerahkan uang seratus ribuan kepada bapak itu. "Kembaliannya buat Bapak aja."

"Loh, kok pulang sendiri? Katanya udah janjian sama Haris?" tanya sang mama begitu melihat Alysa masuk rumah sendirian. Ditengoknya dari jendela, tak ada mobil Haris yang terparkir di teras. Hanya tampak taksi yang sudah melaju meninggalkan halaman rumah.

Alysa membanting tas sekolah ke lantai. Dengan sigap, Mila mengambil lalu meletakkan tas gadis itu di meja ruang keluarga. "Ada masalah sama Haris?" Ia mulai membaca sorot mata Alysa.

Gadis itu hanya diam, mengalihkan perhatian dengan jari lihai mengganti channel televisi.

"Ada ada? Cerita sama Mama dong," bujuk wanita berumur hampir kepala empat itu. Meski umurnya semakin menua, wajah wanita itu masih terlihat muda dan cantik. Mungkin karena ia sangat menjaga kesehatan wajah serta kulit.

Hatinya mulai terbuka. Ia menatap sang mama yang duduk disamping kanan sembari memandangnya penuh perhatian. Hari ini mama Alysa mengenakan jilbab biru muda, warna favoritnya.

"Masak Kak Haris ngajak Alysa ke mal? Kirain Alysa mau beli baju apa nonton.... atau ngapain gitu. Eh, malah ngajak ke toko muslimah. Alysa belum siap berhijab, Ma. Udah gitu, dia ngebentak Alysa lagi. Bete sama tuh cowok.

Lagian ya, Ma, Mama sama Papa juga nggak pernah maksa Alysa make hijab. Apa hak dia ngatur Alysa? Suami juga belum," cerocosnya.

"Akan suami, kan? Goda Mila.

"Mama..." Alysa merengek. "Lagi nggak pengen bercanda."

Sang mama terkekeh. "Iya. Maaf, sayang."

"Alysa harus gimana dong, Ma? Apalagi sampai sekarang Kak Haris juga enggak nge-chat atau nge-Wa, atau telepon atau kirim DM Instagram gitu. Enggak sama sekali."

"Coba kamu minta alasan ke Haris, kenapa nyuruh kamu mengenakan hijab," saran sang mama santai. Walaupun tahu apa alasan calon mantunya itu meminta Alysa berhijab, ia ingin sang putri tahu kebenarannya sendiri. Maklum, dulu awal kuliah, ia juga keberatan saat diminta mengenakan hijab oleh ibunya. Menurutnya, sikap itu wajar.

"Sekarang anak Mama yang cantik mandi deh, biar emosinya reda. Jangan lupa sholat Zuhur dulu."

Sekian detik kemudian, Alysa menuruti perintah sang mama dengan malas. Mila hanya menatap kepergian sang anak dengan senyum dan kepala menggeleng mengingat tingkah aneh anak satu-satunya.

****

Bibir monyong milik Alysa menyambut Haris yang sedari tadi duduk di sofa ruang tamu. Mata lelaki itu menatap Alysa yang menuruni anak tangga ogah-ogahan. Alysa sedikit bahagia karena lelaki itu sadar juga ia bersalah. Kata 'sedikit' perlu digarisbawahi. Kalau sedikit, ya engga banyak.

"Kok mukanya ditekuk?"

Bagi Alysa, itu pertanyaan paling menyebalkan dari Haris. Bukankah sudah jelas? Gara-gara kejadian di mal tadi, ia jadi bersikap seperti ini. "Masih enggak peka juga?" tanyanya to the point minta di-peka-in. Tipe cowok kayak Haris memang harus dijedotin ke tembok. Biar peka. Ia terlalu naif masalah cinta.

Alysa mendudukkan diri ke sofa enggak slow. Kesal, "Sa," panggil Haris. Jangan pernah lupakan nada dinginnya ketika berbicara.

"Haris mau ngajak kamu ke toko berlian buat pesan cincin! Sama Tante Fida juga!" Itu suara sang mama dari arah dapur. Fida adalah bunda Haris, calon mertua Alysa. Orangnya baik sekali, lembut dan ramah. Beda 180 derajat dengan anaknya. Mungkin waktu hamil Haris, Fida mengidam es batu. Mungkin.

Mendengar teriakan sang mama, Alysa melirik sekilas lelaki yang duduk tidak jatuh darinya. Harus Mama juga, ya bilang? Kenapa nggak bilang sendiri, sih? dumelnya dalam hati.

"Kakak harus minta maaf dulu sama Alysa, soal kejadian tadi," tutur Alysa terdengar seperti perintah.

Haris menggaruk-nggaruk kepala.

Kelakuan Alysa dan Haris membuat Mila geleng-geleng kepala. "Udah sana, buruan ganti baju! Haris udah nunggu dari tadi. Tante Fida juga nungguin loh." Ia meletakkan jus jambu untuk Haris. "Sana, buruan naik!" Titahnya kemudian.

Ckk. Alysa berdecak. Gadis itu masih tak habis pikir kenapa Haris selalu enggan melontarkan kata maaf/

"Diminum, Ris."

"Thanks, Tante."

Mama menatap Alysa yang justru berkacak pinggang menghadap Haris. Objek yang digalakin justru minum dengan santai tanpa merasa berdosa.

"Kenapa masih di situ?"

Lagi-lagi Alysa harus menuruti kata sang mama. Selama jalan menuju kamar, ia tak henti menggerutu tidak jelas. Haris dan Mila saling bertatapan lantas tersenyum melihat tingkah Alysa.

Haris dan Mila saling bertatapan lantas tersenyum melihat tingkah Alysa.

Tiga puluh menit kemudian, Alysa turun dengan penampilan andalannya. Rambut dikucir tinggi, bercelana jeans panjang, dan berkaus lengan tanggung berwarna biru. Cantik memang, tetapi bagi Haris, akan lebih cantik kalau mengenakan hijab.

Haris berpamitan kepada Mila diikuti pula oleh gadis itu. Selama di perjalanan, suasana begitu hening. Haris? Kalau sudah menyetir, enggak suka ngomong atau diganggu.

Alysa? Kan lagi ngambek. Coba aja kalau enggak, pasti sudah mengoceh mengalahkan ocehan mbak-mbak penyiar radio.

Sampai di toko berlian, Alysa menyapu pandangan ke segala arah. Fida tidak tampak di sana. Tanda-tanda kedatangannya juga tidak ada. Haris sibuk merogoh ponsel dari dalam suka ketika mendengar nada sambung dari ponsel.

"Assalamu'alaikum, Bun."

"..."

"Iya, sudah ti toko sama Alysa."

Sementara Haris berbicara via telepon, Alysa berkeliling melihat-lihat cincin pernikahan.

"Kenapa?"

"...."

"Iya, Bun."

"...."

"Gak papa."

:..."

"Wa'alaikumssalam." 

Haris menghampiri Alysa yang tengah membungkukkan badan melihat beberapa jajaran cincin. "Kita pulang saja."

"Pulang?" Alysa melongo. Rasanya baru semenit masuk toko." Bukannya Tante Fida belum datang?"

"Bunda nganter Ayah ke airport."

"Harus ya sama Tante Fida? Kan kita bisa milih sendiri. Lagian udah gede, ngapain harus sama Bunda terus?"

Haris berjalan ke luar. "Ia."

Alysa menuju tempat yang ingin ia kunjungi. Haris mengikutinya.

Suara gemercik dari air bebatuan yang mengalir dari tempat tinggi ke rendah mengiringi ikan yang menari-nari di kolam. Alysa duduk di atas tepian kolam. Sejak ia datang, hewan-hewan berinsang itu berhasil menarik perhatiannya. Entah sejak kapan gadis berparas cantik itu menjadi sangat menyukai ikan. Senyumnya kembali merekah melihat para makhluk kecil yang asyik mengitari kolam.

Alysa mendongkakkan kepala setelah beberapa saat menunduk. Ia memandang sebuah kaca jendela toko yang memantulkan wajah menawan seorang pria bertubuh jangkung memakai kemeja putih, cocok dengan warna kulit kuning langsatnya. Ekspresi masih sama dengan biasanya. Datar dan datar. Merasa diperhatikan, Haris salah tingkah, berpura-pura memandang ke arah lain. Namun sayang, Alysa cukup pandai dalam membaca body language.

Alysa terkekeh. Ya begitu Alysa, mudah marah, cepat juga lupa sama marahnya. Enggak bakal sampai 5 jam pokoknya. Ia beranjak mendekat, menggenggam tangan kekar Haris.

Lelali itu tambah salah tingkah. Ia berdeham, ingin bicara, tapi terlanjur beku pada sikap manja Alysa. Sadar akan kesalahan, ia melepaskan genggaman Alysa dengan lembut. Tak ingin melukai perasaan Alysa lagi.

Tampaknya Alysa juga lupa kalau Haris tidak menyentuh wanita yang bukan mahramnya. Ia bertanya, "Kenapa begitu? Jijik ya?"

Jawaban lelaki itu begitu mempesona. "Saya bukan jijik. Saya hanya ingin menghormati wanita dengan cara tidak sembarang menyentuh. Ibarat kaos yang masih diplastik rapi, bukan obralan yang udah disentuh berjuta-juta orang, Kan mahalan yang tertata rapi."

"Maaf, Kak."

"I-iy-iya...," jawabannya gugup.

Alysa terkekeh. "Segitunya ya, Kak? Gak pernah digandeng cewek? sampai gugup hitu."

Haris tersenyum tipis, hampir tidak terlihat senyum. Senyuman itu berperan sebagai jawaban iya.

"Nah, gitu dong! Senyum. Kan Alysa tambah sayang," godanya kemudian berlalu pergi.

Deg...deg...ded... Demi Allah, jantung Haris sudah tidak karuan. Semoga saja tidak sampai jantungan. Dan, semoga detak jantungnya tidak sampai terdengar oleh telinga gadis itu. Kalau dengar kan bisa berabe. Itu sangat memalukan. 

Berlanjut...... 

Cerpen, Ekonomi, Gombalan, Remaja, Tips Kecantikan, Tips Kesehatan
DAFTAR ISI
  1. Tentang Remaja
  2. Tips Buat SMS Mesra yang tak terlupakan
  3. Cerpen "Purnama Pucat"
  4. Panggil Saya John!
  5. Kingston Rossdale "Berdandan Antimainstream"
  6. Cerpen "Pernikahan Koboi"
  7. Tips Menaklukan Hati Cewek Rumahan
  8. Pendeteksi 5 Kebohongan Wanita
  9. Gaya Rambut Remaja Pria Pendek Bawah
  10. Produk Kecantikan Selamat Digunakan
  11. Renungan Untuk Para Istri
  12. Menunggu Banyu
  13. Tips Menjerat Laki-laki Ganteng
  14. Galau Pasti Berlalu Karya Nadiawau.
  15. Panduan Lengkap Untuk Wanita
  16. Cara Menghindari Depresi dengan Mengenali Diri
  17. Gejala, Penyebab, Terapi, Pencegahan Depresi 
  18. Rahasia "Make Up" Tahan Lama
  19. Proses produksi yang dilakukan produsen pasti memerlukan biaya, besarnya biaya proporsional dengan banyak barang dan jasa yang dihasilkan
  20. Tujuan utama dari pendirian sebuah perusahaan sudah jelas untuk mendapatkan laba (profit) atau dengan kata lain keuntungan
  21. Konsumsi merupakan salah satu kegiatan dalam perekonomian selain produksi dan distribusi
  22. Pelaku ekonomi dalam sebuah perekonomian sebenarnya tidak hanya terdiri atas konsumen dan produsen
  23. Penawaran (supply) dan permintaan (demand) merupakan dua kekuatan utama yang menentukan harga
  24. Fungsi permintaan menggambarkan hubungan antara variabel harga (Price, P) dengan variabel jumlah barang yang diminta (Qd)
  25. Permintaan dengan harga memiliki hubungan yang sangat erat karena kekuatan permintaan
  26. Keseimbangan pasar (market equillibrium) terjadi pada tingkat harga dan jumlah barang dan jasa 
  27. Elastisitas harga penawaran adalah angka yang menunjukkan berapa persen jumlah barang yang ditawarkan
  28. Keberadaan pasar mempunyai fungsi yang penting
  29. Bank sentral merupakan lembaga yang memiliki peran penting bagi perekonomian suatu negara
  30. Bank Indonesia berperan dalam membuat peraturan-peraturan yang mendukung kelancaran sistem pembayaran
  31. Benda-benda yang dijadikan sebagai alat pertukaran sebelum adanya Uang
  32. Wewenang Bank Indonesia Dalam Pengelolaan Alat Pembayaran
  33. Unsur Pengaman Uang Rupiah, Terbuka (overt), Semi tertutup (semicovert), Tertutup (covert/forensic)
  34. Pengelolaan Keuangan, Konsep Dasar Pengelolaan Keuangan, Pengertian Pengelolaan Keuangan
  35. Kegiatan Berinvestasi dalam Pengelolaan Keuangan
  36. Jenis dan Fungsi Bank sebagai Lembaga Keuangan
  37. Lembaga Jasa Keuangan dalam Perekonomian Indonesia
  38. Uang elektronik di Indonesia mulai berkembang
  39. Tips Kecantikan, Mencegah Penuaan Kulit Wajah, Menghaluskan Kulit, Lindungi Kulit dari Bahaya Sinar Matahari
  40. Hemat Waktu Menata Rambut dengan Blow Permanen
  41. Kata-kata Rayuan Gombal Bikin Baper 
  42. Kisah Perjalanan Kekampung lagi 
  43. Pastikan dokter dan staf medisnya sudah tersertifikasi, Perhatikan produk kecantikan yang diberikan, Mengenal kondisi klinik kecantikan
  44. Peran Pelaku Ekonomi, Kegiatan Ekonomi, Pengertian Produksi
  45. Novel "Yang hilang akan kalah dengan yang selalu ada"
  46. Hujan dan Jiwa Pemberani
  47. Budak Cinta Part I "I Hate You".
  48. Penyelamat dari korban-korban Tay