Langkah Panjang Ruzi
(Cerpen Inspiratif)
Payakumbuh, 1996.
Pagi itu, udara masih sejuk ketika Ruzi melangkah keluar rumah dengan koper tua di tangannya. Tak banyak yang ia bawa, hanya pakaian secukupnya, sehelai sarung, dan harapan yang ia simpan dalam diam.
Ia berdiri sejenak di depan rumah, memandang bukit-bukit hijau yang sudah sejak kecil menjadi bagian hidupnya. Sejak kelas dua SMA, Ruzi bukan hanya pelajar biasa. Ia juga seorang peternak ayam petelur kecil-kecilan. Seratus ekor ayam pertama menjadi awal usahanya. Ia memberi makan setiap pagi, membersihkan kandang setiap sore. Di sela-sela belajar, ia menghitung pengeluaran, mencatat panen telur, dan menabung seikhlasnya.
Namun, hidup tak selalu seperti yang direncanakan. Ayam-ayam itu tak cukup kuat menopang harapan. Biaya pakan, penyakit, dan tekanan ekonomi membuat usaha itu pelan-pelan memudar. Ruzi tahu, ia harus mencari jalan lain.
Pada tanggal 10 September 1996, Ruzi mengambil keputusan besar: merantau ke Jakarta. Ia ditemani Mak Odang, kakak perempuan ibunya yang sudah seperti ibu sendiri. Mereka naik Bus Gumarang Jaya, menempuh perjalanan panjang selama dua hari satu malam 36 jam menyusuri jalanan Sumatera, melewati pelabuhan, dan akhirnya sampai di ibu kota.
Jakarta menyambutnya dengan panas dan hiruk-pikuk yang asing. Ia tinggal di rumah salah satu sepupunya. Di sana, ia mulai bekerja, belajar menjilid skripsi. Hari-harinya dihabiskan di bengkel penjilidan: mengoles lem, merapikan halaman, dan menekan jilidan agar rapi. Tangannya yang dulu akrab dengan pakan ayam, kini terbiasa dengan lem panas dan kertas tebal.
Tiga bulan berlalu. Ruzi mulai memahami satu hal: hidup adalah proses belajar yang tak pernah berhenti. Ia ingin menambah pengalaman. Maka, suatu malam, ia memohon izin kepada sepupunya untuk mencoba pekerjaan baru. Sepupunya mengerti, dan memperkenalkan Ruzi kepada Afrizon saudara sepupu mereka yang juga memiliki usaha fotokopi.
Afrizon menerima Ruzi dengan tangan terbuka. Ia bukan hanya memberi pekerjaan, tapi juga tempat tinggal. Ruzi pun pindah ke rumah Afrizon, dan mulai bekerja di toko fotokopi miliknya. Di sana, ia belajar melayani pelanggan, menggandakan dokumen, menata file, dan menghadapi kesibukan toko yang tak pernah benar-benar sepi.
Hari-hari Ruzi kini lebih padat. Pagi hingga malam, ia berdiri melayani pembeli, belajar cepat dan sigap, dan terus membiasakan diri dengan tekanan kota besar. Tapi ia tak pernah mengeluh. Ia tahu, semua ini adalah bagian dari proses.
Baginya, pekerjaan bukan soal besar atau kecil. Tapi soal seberapa sungguh-sungguh ia menjalaninya. Ia percaya, dari pengalaman yang tampak sederhana inilah, ia sedang membangun pondasi hidupnya.
Ruzi memang bukan siapa-siapa. Ia hanya pemuda biasa dari Payakumbuh. Tapi keberaniannya untuk merantau, belajar dari nol, dan bertahan dalam kesederhanaan itulah yang membuatnya luar biasa.
Dan dari setiap langkah kecilnya, perlahan masa depan mulai terbuka.
Pesan Cerita:
Kamu tak perlu lahir di tempat besar untuk punya impian besar. Yang kamu butuh, hanya satu hal: keberanian untuk melangkah.