Purnama Pucat
Oleh : Zulkarnain
Untung saja pintu depan tidak terkunci, jadi aku harus berlama-lama di teras depan. Walaupun suasana di sekeliling rumah gelap, aku tetap saja khawatir kalau salah satu petugas patroli yang sempat meneriaki di depan pintu masuk kompleks tadi akan terus berusaha mengejar. Tak ada tanda-tanda kegaduhan. Dari balik jendela, ku perhatikan juga tak ada kelebat bayangan yang melintas di depan pagar halaman. Sepertinya, dugaanku itu cuma kekhawatiran yang berlebihan saja.
Masih tercium bau hangus, padahal peristiwa pembakarannya sudah tiga hari yang lalu. Cuaca kering tanpa hujan selama seminggu belakangan mungkin penyebabnya. Aku mendengar kabar pembakaran rumah kecil bernomor tiga belas di kompleks Margahayu ini dari seorang teman kantor yang juga sedang meminta perlindungan di rumah kerabatku. Marini.
“Studio kawan pelukisku, si Suryo itu, sudah, dibakar orang-orang,” katanya pelaku.
Hanya itu kabar yang ia tahu. Bagaimana akhirnya nasib sang pemilik studio, ia tidak tahu.
‘Mungkin saja ia dimasukkan ke penjara. Atau jangan-jangan malah ikut terbakar bersama studionya,” begitu katanya, sambil menunjukkan mimik wajah yang serius. Ah, apakah benar mereka telah menangkapmu, Suryo? Aku tak percaya, kau harus lebih dahulu berhadapan dengan kesialan. Semoga saja itu hanya dugaanku saja. Sesungguhnya, aku masih barharap bisa bertemu denganmu. Setidaknya di pengasingan jeruji besi, atau bahkan ketika harus sama-sama berhadapan dengan mata golok yang mengancam. Tentu saja kita akan sama-sama dilibas oleh badai merah yang muncul tiba-tiba sejak awal bulan Oktober. Setelah pembunuhan jenderal-jenderal, orang-orang seperti kita hanyalah dianggap seperti virus penyakit yang harus segera dimusnahkan. Kita menjadi korban dari ideologi, yang bahkan tidak sepenuhnya kita percaya.
Mungkin ini adalah kelima kalinya aku menginjak kembali rumah dengan halaman yang dikelilingi pepohonan ini. Rumah yang dijadikan studio lukis ini sebenarnya tidak begitu besar. Di dalamnya hanya ada ruang tanpa sekat, seperti gabungan antara ruang tamu dan ruang keluarga, yang dijadikan Suryo sebagai ruang kerjanya. Di lantainya bisa bergeletakaan papan tripleks yang biasa digunakan sebagai palet dan beberapa tabung kecil cat minyak. Kuas-kuas ditempatkan dalam sebuah ember berukuran cukup besar, yang selalu diletakkan di bawah kanvas yang sedang ia jadikan medan lukis. Di sudut lain, berjejer kanvas-kanvas, dari yang masih kosong, berisi lukisan-lukisan setengah jadi hingga yang sudah terlukis sempurna. Itulah bayangan yang aku ingat ketika pertama kali datang ke studio lukis ini.
Sekarang, tentu saja bayangan itu meleset jauh. Kubakar sebatang korek api, kemudian bisa kulihat betapa kacaunya ruangan itu. Kuas, kanvas papan palet, kayu penyangga kanvas, hiasan anyaman yang biasa menempel di dinding, semuanya sudah mengisi lantai bercampur dengan puing-puing kayu dari beberapa bagian rumah. Konstruksi rumah sepertinya cukup kuat, selain bahan bangunan, kursi dan meja kayu yang terbakar, dinding-dindingnyaa tetap tegak, meskipun kini dipenuhi noda-noda kehitaman. Kemudian suasana kembali gelap, bersamaan rasa panas yang menjalar di jempolku. Korek api sudah habis terbakar.
Aku nyalakan lagi sebatang korek api, kemudian langsung mengarahkan pandangan ke sekeliling ruangana. Waktuku tak banyak. Aku harus segera menemukan benda yang aku cari. Sesuatu yang membuatku harus mempertaruhkan nyawa untuk menembus teror jam malam dan patroli. Sesuatu yang menjadi satu-satunya penghubungku dengan Suryo.
Kutajamkan penglihatanku, berusaha mencarinya, diantara kanvas-kanvas yang berserakan, yang tak sedikit diantaranya bahkan sudah tercabik-cabik. Di balik salah satu lukisan yang sudah terbelah menjadi dua, sebelum batang korek yang kupegang habis terbakar, aku melihat gelas kaleng yang biasa digunakan Suryo. Beberapa kali mengamati Suryo saat sedang bekerja di rumah studio ini, kulihat gelas itu selalu berada di meja kecil di sampingnya. Ia selalu mengisinya dengan jeruk hangat, minuman yang selalu biasa dibuatkan oleh ibunya ketika masih kecil, begitu cerita Suryo saat pertama kali kami bertemu.
“Apalagi kalau sedang berbicara soal politik, rasanya kerongkonganku selalu minta diguyur jeruk hangat ini,” katanya waktu itu.
Kira-kira lima bulan lalu, aku bertemu dengannya di sebuah acara yang diadakan organisasi budaya tempat Suryo bernaung. Seorang rekan keija mengajakku datang, karena ia tahu aku bukanlah orang yang suka menghabiskan waktu untuk kumpul-kumpul. Di acara itu, aku dibuat terpukau oleh beberapa karya Suryo. Dari organisasi budaya itu, aku juga jadi lebih mengenal seorang pelukis senior yang juga beijaya sebagai kritikus.
Aku bakar lagi sebatang korek api. Dengan satu tangan memegang batang korek, kugunakan tangan lain untuk menggeser kanvas-kanvas. Di antara tumpukan itu, kutemukan sebuah lukisan yang masih terhitung baru dirampungkan Suryo. Lukisan itu bercerita tentang situasi sebuah pasar. Ibu-ibu sedang terlihat duduk sambil menjajakan barang-barang jualannya. Di sebuah sudut pasar itu terlihat seorang lelaki sedang bergaya seperti tengah berdeklamasi dan dikelilingi oleh beberapa orang.
“Ini aku buat biar dibilang mendukung revolusi. Aku sebenarnya lebih suka melukis pemandangan alam atau wanita, pokoknya yang cantik-cantiklah,” kata Suryo sewaktu memperlihatkan lukisan itu padaku.
Karakter lukisan Suryo memiliki garis halus dan permainan palet warna yang lembut. Jauh berbeda dengan kekuatan goresan garis kasar yang dimiliki sang pelukis terkenal dari organisasi budaya, yang juga merupakan salah satu guru Suryo. Karena lebih suka melukis panorama alam dan wanita, yang pada saat itu sering dibilang kontra revolusi dan terkesan boijuis, banyak karya Suryo yang berakhir tergeletak begitu saja di sudut studio lukisnya.
Suryo dianggap sebagai seniman yang kurang produktif. Karyanya jarang mendapat tinjauan, bahkan di harian yang diterbitkan oleh organisasi budaya tempatnya bergabung.
“Aku masih belum mengerti mengapa seni bisa dicampuradukkan dengan ideologi. Aku sebenarnya masuk organisasi ini juga cuma ikut-ikut saja. Di organisasi seni satu lagi itu ada orang yang enggak aku suka.”
Aku sempat dibuatnya kaget ketika ia bercerita tentang alasannya bergabung di organisasi budaya. Aku bahkan sempat mengira ia hanya sedang bergurau.
Ketika cahaya api kembali menyala pada sebatang korek, pandanganku langsung terpaku pada sebuah sisir yang tergeletak di sudut dekat tumpu kanvas. Biasanya, sisir itu terikat seutas tali dan bergantung pada pinggiran kayu sebuah cermin yang menempel di dinding. Memandang sisir tipis berwarna cokelat tua itu, aku kembali teringat salah satu kenangan bersama Suryo.
Sore itu, ia yang tadinya sedang asyik melukis di hadapanku, tiba-tiba bangkit mendekat.
“Kamu cantik sekali, Cempaka. Rambutmu hitam panjang, kulitmu putih pualam. Bagaimana mungkin wanita sepertimu masih belum punya kekasih,” begitu ujarnya sambil merapikan helai-helai rambutku dengan sisir tipis berwarna cokelat yang ada dalam genggamannya. Aku hanya bisa diam, sambil tersipu. Belakangan, ia menganggap sikapku ini sebagai persetujuan untuknya bertindak lebih jauh.
Suryo selalu mengagumi karya tulis dan kegiatanku di organisasi kewanitaan. Ia selalu takjub mendengar cerita pengalamanku ketika diundang ke Moskow untuk simposium pergerakan wanita. Katanya, karya tulisku juga penuh kalimat tajam yang penuh dukungan terhadap ide-ide kemajuan wanita.
“Kamu cantik dan cerdas. Benar-benar berbeda dengan wanita lainnya. Biarkan aku mengabadikanmu pada salah satu kanvas terbaikku,” ujar Suryo ketika pertama kali aku berkunjung ke studio lukisnya. Ditunjukkannya beberapa lukisan wanita yang pernah dibuatnya, dan rasa kaget sempat menyergapku ketika melihat lukisan pertama. Ada sekitar delapan lukisan yang berjejer menempel di dinding di sudut ruangan. Semuanya bergambar wanita tanpa busana dengan berbagai variasi gaya dan pulasan warna. Reaksi pertamaku saat itu adalah bergegas angkat kaki, meninggalkan Suryo yang hanya diam tak berusaha menahanku.
Seharusnya aku tidak boleh membakar banyak korek api, karena bisa saja cahayanya yang terlihat dari balik jendela menarik perhatian petugas patroli yang sedang mengawasi daerah sekeliling kompleks. Tapi apa boleh buat, aku belum bisa menemukan benda yang kucari-cari itu. Anehnya, yang kutemukan malah lukisan yang sebenarnya tidak ingin aku lihat lagi. Lukisan yang bergambar seorang wanita mengenakan kebaya warna putih dengan rambut yang disanggul kecil ke belakang. Hartinah, nama wanita itu, adalah istri dari Suryo yang juga ibu dari dua putranya.
Aku tidak pernah bertemu dengan Hartinah secara langsung, hanya bisa menerka sosoknya dari lukisan dan berbagai cerita yang dituturkan oleh Suryo saja. Ia cantik, hitam manis, selalu rapi, pandai memasak dan cekatan dalam melakukan pekerjaan rumah. Hartinah adalah anak seorang pengusaha perkebunan. Jadi, meskipun Suryo bukanlah seniman produktif yang karyanya banyak laku terjual, ia dan keluarganya tidak begitu khawatir dalam menghadapi kebutuhan hidup sehari-hari.
Dari usia pernikahan yang sudah hampir menginjak sepuluh tahun, pasangan itu mendapatkan dua putri. Bagi Suryo, putri pertama mereka adalah sebuah anugerah yang berhasil menyatukan keduanya.
“Hartinah hamil duluan, ayahnya mau tidak mau harus menyetujui pernikahan kami. Yah, setidaknya sekarang saya bisa tenang melukis,” ujar Suryo, ketika menceritakan awal kisah pernikahan mereka.
Seberkas bayangan tiba-tiba terlihat berkelebat dari arah depan pagar halaman, persis sebelum batang korek habis terbakar. Kudekati jendela agar bisa mengamati lebih jelas apa yang terjadi di luar sana. Sambil bersandar pada kursi kayu, kutunggu hampir selama tiga menit, tapi tidak ada siapa pun di depan halaman sana. Tebersit sedikit kekhawatiran, tapi aku tidak bisa pergi begitu saja sebelum menemukan benda yang kucari. Kudekati lagi tumpukan kanvas di sudut ruangan.
Sebatang korek api kembali menyala. Sebuah lukisan bergambar sungai. Lukisan wanita telanjang dengan selendang warna merah melingkar di lehernya, aku ingat Suryo pernah menunjukkannya padaku. Lukisan sekumpulan anak-anak yang sedang bermain di tengah lapangan rumput.
Dan akhirnya kutemukan juga, lukisan diriku tanpa busana. Seorang wanita yang telanjang duduk di sebuah kursi kayu, kedua tangannya memegang tumpukan tiga buku tebal yang menutupi daerah selangkangannya. Latar lukisannya berwarna keemasan, seperti langit senja.
“Biar kuabadikan dirimu dengan buku-buku dan langit senja. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk mengapresiasi makhluk yang memesona sepertimu,” ujar Suryo, sebelum akhirnya membuka satu per satu kancing blusku pada suatu sore. Ia menyuruhku duduk di kursi kayu yang biasa ia gunakan ketika melukis. Hanya ada seberkas sinar matahari senja yang merembes masuk dari celah kecil tirai yang menjadi penerang ruangan.
Sebuah perasaan aneh datang tiba-tiba. Aku merasa tidak lagi sendirian di ruangan ini, ada seseorang yang menemaniku. Kutemukan Suryo sedang duduk di atas kursi kayu yang berada di dekat jendela.
Wajahnya begitu pucat dan letih. Tatapan matanya begitu kosong. Ia tidak sedang memperhatikanku, tapi hanya menatap dingin dinding di seberang ruangan. Ruangan kembali gelap ketika batang korek yang sudah hangus terjatuh ke lantai.Tak kurasakan lagi kehadiran sosok Suryo. Dari balik jendela kulihat bayangan berkelebatan dari arah halaman rumah.
“Siapa di sana?” terdengar suara teriakan seorang laki-laki. Menyusul kemudian beberapa suara lain.
“Maling!”
“Kawan komunis, ya?”
Sambil memeluk lukisan tubuhku, aku langsung bergegas bangkit dan berlari ke arah dapur di bagian belakang rumah. Di situ ada pintu belakang, tapi setelah aku putar-putar daunnya, pintu itu tetap tidak mau membuka. Kudengar suara benturan pintu pada dinding di ruang depan. Orang-orang itu sudah masuk ke dalam ruangan. Dan pintu di depanku tetap saja tidak mau membuka.